Pendidikan dan Toktok Sape di Pulau Bawean

Tulisan Lepas : Nur Syarifuddin Dosen STAI Hasan Jufri Bawean*

Bawean (Opini), beritakota.net | Pendidikan merupakan kunci pembuka ke arah kemajuan suatu bangsa, pendidikan yang maju dan kuat akan mempercepat terjadinya perubahan sosial, dan pendidikan yang mundur akan kontra produktif terhadap jalannya proses perubahan sosial, bahkan dapat menimbulkan ketidak harmonisan tatanan sosial. 


Dengan demikian pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dan signifikan dalam proses perubahan di masyarakat, terutama untuk membentuk sebuah karakter Masyarakat. Kehidupan masyarakat yang semakin maju menutut pendidikan di negeri ini untuk sanggup menjawab berbagai kebutuhan masyarakat yang dinamis dan dapat menangkap isyarat zaman yang terus berubah dengan cepat. Disamping itu, sebagaimana kita ketahui bersama akhir-akhir ini dalam dunia pendidikan kita secara khusus di pulau Bawean, ada semacam degradasi moral yang cukup parah. 


Hal tersebut disebabkan tidak adanya integrasi antara tiga pusat pendidikan (sekolah, keluarga, dan masyarakat) sebagaimana yang yang ungkapkan bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantoro. 


Disinilah pentingnya kita perlu memahami bersama bahwa pendidikan itu tidak hanya kita tekankan di sekolah atau madrasah sebagai lembaga Pendidikan secara khusus, akan tetapi penting kita pahami bahwa pendidikan keluarga juga tak kalah penting sebagai pendidikan pertama bagi seorang anak, sehingga orang tua tidak melupakan tanggung jawabnya dengan hanya menitipkan anaknya kesekolah tanpa menjadi kontrol dan melupakan kewajiban utamanya untuk mendidik anaknya.  


Disamping itu pendidikan masyarakat melalui pembudayaan juga sangat penting dengan habitulasi sejak dini dalam mengenalkan dan penanaman nilai-nilai pendidikan dan juga karakter sebagai pembentukan jati diri masyarakat. 


Dimana dari beberapa pendapat para ahli, kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.


Menarik ketika kita berbicara masyarakat Bawean yang dikenal dengan masyarakat yang agamis dan perantau (migran) dalam satu sisi telah banyak mengalami perubahan akibat dari kontak kebudayaan dengan masyarakat luar yang cukup dinamis. Namun pada sisi yang lain, mereka tetap berpegang teguh pada prinsip tradisi peninggalan nenek moyang sebagai masyarakat Islam yang teguh memegang prinsip agama. 


Hal ini menjadi menarik dimana pada tahun lalu tepatnya pada selasa (14/5/2024) Dewan Kebudayaan Gresik mengunggah flyer yang menyebut Thok-Thok sebagai tradisi Bawean. Dalam flyer tersebut tertulis, "Thok-Thok tradisi adu sapi khas Bawean untuk menunjukkan kualitas dan menaikkan harga sapi". Yang kemudian hal tersebut menjadi polemik dan mendapatkan penolakan keras dari para tokoh Masyarakat Bawean yang tidak setuju kalau thok-thok sape sebagai hiburan sebagaian masyarakat Bawean dianggap sebuah tradisi.


Dalam kajian ini, kami akan mencoba mengkaji thok-thok sape melalui kaca mata pendidikan masyarakat. Sebagaimana yang disampaikan Chairil Anwar (tenaga ahli dinas kebudayaan Gresik), “Toktok Sape” dalam Bahasa Bawean bermakna sebagai pertarungan dua ekor sapi yang secara sengaja diadu oleh pemiliknya atau orang lain. Kata tersebut memiliki makna berbeda dengan “sape a toktok” yang bermakna dua ekor sapi bertarung tanpa sengaja di adu oleh pemiliknya atau orang lain. 


Pertarungan sapi tersebut lebih karena insting binatang pada sapi dalam mempertahankan teritorialnya, sumber makanan atau pasangan dimasa musim kawin.


Dengan demikian sape a toktok bisa dikatakan telah terjadi dan ada di Bawean sejak sapi ada di Pulau Bawean”. Pembahasan ini menjadi penting dimana dalam hiburan Toktok Sape yang akhir-akhir ini selalu dinantikan para penggemarnya, banyak melibatkan anak-anak kecil usia sekolah sebagai bagian dari penonton yang ada.


Berbicara terkait konsep pendidikan Masyarakat, yang dipahami sebagai usaha untuk meningkatkan mutu dan kebudayaan agar terhindar dari kebodohan. Usaha-usaha tersebut dapat diwujudkan melalui berbagai macam kegiatan masyarakat sehingga diharapkan adanya rasa memiliki dari masyarakat akan dapat membawa suatu pembaharuan, dimana masyarakat memiliki tanggung jawab terlebih-lebih untuk meningkatkan kuwalitas pribadi dibidang Ilmu, ketrampilan, kepekaan perasaan dan kebijaksanan atau dengan perkataan lain peningkatan ketiga wawasan kognitif, afektif maupun psikomotorik. 


Hal tersebut menjadi polemik dunia pendidikan ketika disandingkan deng fenomena Toktok Sape yang marak sebagai hiburan sebagian masyarakat Bawean dengan keterlibatan anak-anak usia sekolah. Dimana Toktok sendiri mempertontonkan pertarungan dua ekor sapi laki-laki hingga berdarah-darah.


Hal tersebut disadari atau tidak akan mempengaruhi tumbuh kembang karakter anak dengan kebiasaan melihat tontonan kekerasan dalam pertarungan kedua sapi tersebut. 


Dengan demikian menjadi sangat penting bagi kita sebagai orang tua dan juga kelompok Masyarakat yang merupakan salah satu unsur terpenting sebagai pelaku atau pelaksana asas pendidikan. Sebagaimana yang disampaikan Abuddin Nata, 1999. Bahwa individu atau kelompok Masyarakat merupakan salah unsur-unsur terpenting dalam pelaksanaan asas Pendidikan. 


Dimana masing-masing kelompok tersebut melakukan aktifitas–aktifitas keterampilan, penerangan dan pendalaman dengan sadar dibawah pimpinan atau koordinator masing-masing kelompok. 


Para pelaku Toktok Sape disini, disadari atau tidak lambat laun akan mempengaruhi perbuatan dan sikap kepribadian warga masyarakat sekitar terutama anak-anak usia dini. Dengan terjadinya habitulasi atau pembiasaan mempertontonkan kekerasan sejak dini, otomatis akan membentuk sebuah karakter dan jati diri anak yang sesuai dengan apa yang mereka lihat. 


Ironis sekali dimana anak-anak ini dibawa orang tuanya untuk menonton Toktok seakan-akan para orang tua ini membenarkan atau bahkan disadari atau tidak, mereka mengajarkan bahwa kekerasan itu bukanlah hal yang negatif dalam tumbuh kembang karakter dan kepribadian anaknya.


Disamping itu, tidak jarang pelaksanaan Toktok itu sendiri diwaktu aktif kegiatan belajar anak-anak tersebut. Lebih ironisnya lagi, para orang tua sama sekali tidak melarang anak-anaknya bolos sekolah ataupun mengaji untuk menonton Toktok, dan bahkan merekalah yang mengajak anak-anak mereka untuk bersama menonton Toktok Sapi. 


Para orang tua seperti ini menganggap hal tersebut merupakan sebuah kewajaran tanpa memperdulikan tumbuh kembang karakter anaknya. Selain itu juga Toktok juga berbahaya terutama terhadap anak kecil ketika ada salah satu sapi yang kalah atau takut kemudian melarikan diri dari kejaran lawannya berpotensi besar menyeruduk para penonton yang bergerombol di pinggir lapangan.


Hal tersebut diatas yang mungkin kurang kita sadari bersama menjadi polemik yang cukup berat terutama bagi para guru sebagai sosok yang mempunyai tanggung jawab besar untuk membentuk generasi emas bangsa ini kedepannya. Semoga kedepannya kita menyadari dan bersama-sama semua lini untuk bisa mengintegrasikan ketiga pusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah, dan juga Masyarakat sehingga cita-cita bangsa dan tujuan pendidikan untuk membentuk generasi emas bangsa ini tidak hanya menjadi opini semata, akan tetapi mampu kita capai dan kita terapkan untuk kemudian menjadi sebuah tatanan ideal yang tidak hanya sebatas ada dalam tatanan ide yang mentok sebagai opini semata. 


Wallahu a’alam bisshawab. 

Bawean, 28-01-2025


*Penulis juga Ketua PC PERGUNU Bawean